Antara Isbal dan Kesombongan
Tanggapan atas tulisan Ust. Nursanjaya, M.Pd
Oleh: Alfaqir fi awni rabbihi Rudi Iswadi
Pada buletin jum’at yang lalu (tanggal 5 Juni 2009, Media Dakwah Muhammadiyah Cab. Langsa), al-ustadz Nursajaya membahas permasalahan Isbal dan pada puncaknya beliau menegaskan bahwa Isbal itu hanya haram jika motivasinya karena kesombongan, dengan merujuk kepada penafsiran beberapa hadits tentang masalah isbal oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Imam Nawawi, yang keduanya merupakan ulama tersohor dalam madzhab syafi’iy.
Selepas membaca buletin tersebut, beberapa ikhwan menemui penulis dan menanyakan hal tersebut. Apakah kesombongan menjadi syarat bahwa isbal itu diharamkan?, apakah hadits-hadits isbal dapat dimasukkan dalam mutlaq dan muqoyad?
Sebelum membahas lebih jauh tentang permasalahan tersebut, perlu kiranya penulis tegaskan bahwa dalam menyikapi hal ini hendaknya tidak sembarangan untuk kemudian meng-hajr (boikot), serta mengucilkan muslim lainnya hanya karena permasalahan isbal. Akan tetapi harusnya kita bersikap wasath (pertengahan) diantara orang-orang yang berlebih-lebihan dan orang-orang yang meremehkan dalam menyikapinya. Allah Ta’ala berfirman:
وكذلك جعلناكم أمة وسطا لتكونوا شهداء على الناس ويكون الرسول عليكم شهيدا
“Dan demikianlah Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (Q.S. Al-Baqarah: 143)
Demikianlah seharusnya sikap ahlussunnah dalam menyikapi setiap permasalahan, tidak serampangan dan tetap menjunjung tinggi rasa persaudaraan dan kelemahlembutan terhadap sesama ahlussunnah. [Lihat Mukaddimah Rifqan Ahlassunnah bi Ahlissunnah, Syeikh Muhsin Al-Abbad, Guru besar Ilmu Hadits pada Univ. Ummul Qura’]
Dalam permasalahan isbal ini memang tidak kita nafi-kan (pungkiri) bahwa terjadi ikhtilaf (perbedaan) dalam menafsirkan hadits dan mengkompromikan hadits-hadits seputar isbal. Permasalahan ini muncul ketika sebagian ulama berpandangan bahwa hadits-hadits yang ada bersifat mutlaq dan muqoyad.
Sebelum beranjak lebih jauh, untuk itu mari kita perhatikan beberapa hadits shohih seputar isbal ini:
Hadits Pertama
ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار
“Apa saja yang berada dibawah mata kaki berupa kain, maka tempatnya di neraka.” [Hadits diriwayatkan oleh Bukhari dalam shohihnya bab Maa asfala minal ka’bain]
Hadits Kedua
من جر ثوبه خيلاء لم ينظر اللّه إليه يوم القيامة
“Siapa saja yang menjulurkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya nanti di hari kiamat” [Hadits diriwayatkan oleh Muslim dalam shohihnya]
Hadits Ketiga
ثلاثة لا يكلمهم الله ، ولا ينظر إليهم يوم القيامة ، ولا يزكّيهم ، ولهم عذاب أليم : المسبل إزاره ، والمنّان فيما أعطى ، والمنفق سلعته بالحلف الكاذب
“Ada tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah dan tidak dilihat oleh-Nya serta tidak akan disucikan (dari dosa), dan Allah akan mengazab mereka, yaitu: orang yang meng-isbal-kan kainnya, pengungkit pemberian dan orang yang berjualan dengan sumpah palsu.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dalam shohihnya]
Hadits Keempat
عن أبي هريرة ـ رضي الله عنه ـ قال : بينما رجل يصلّي مُسْبِلاً إِزاره ، قال له رسولُ الله : اذهب فتوضّأ ، فذهب فتوضّأ ، ثم جاء ، فقال : اذهب فتوضّأ ، فقال له رجل : يا رسول الله !! ما لك أَمرتَهُ أن يتوضّأ ؟ ثم سكت عنه . قال : إنّه كان يُصَلِّي ، وهو مسبلٌ إزارَه ، إن الله لا يقبل صلاة رجلٍ مسبلٍ إزارَه
“Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, suatu hari ada seorang yang shalat dalam keadaan kainnya menjulur (isbal), kemudian Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam berkata, “Pergilah dan berwudhu kembali”. Lalu orang tersebut berwudhu, dan kembali. Maka Rasulullah berkata, “Pergilah dan berwudhu’lah kembali”. Lantas sesorang bertanya, “wahai Rasulullah, kenapa engkau menyuruhnya mengulangi wudhu?” kemudian ia diam. Rasulullah pun bersabda, “ia sholat namun ia mengisbalkan kainnya, sesungguhnya Allah tidak menerima shalat sesorang yang mengisbalkan kainnya.” [HR. Abu Daud dalam Sunannya, Kitab Shalat, bab Isbal fis shalat. An-Nawawi dalam Majmu’ (4/457) berkata: Hadits ini shahih dengan syarat Muslim]
Hadits Kelima
ابن عمر رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم قال: من جر ثوبه خيلاء لم ينظر اللَّه إليه يوم القيامة ، فقال أبو بكر: يا رَسُول اللَّهِ إن إزاري يسترخي إلا أن أتعاهده. فقال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: إنك لست ممن يفعله خيلاء
“Dari Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa saja yang menjulurkan kainnya (isbal) karena kesombongan maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat,” Lantas Abu Bakar bertanya, “Ya Rasulullah, sesungguhnya kain ku sering melorot kecuali jika aku benar-benar menjaganya”, Rasulullah pun menjawab, “sungguh engkau tidak termasuk orang yang melakukannya karena sombong.” [HR. Bukhari dalam bab, Man jarra izarahu min ghairi khuyala’]
Hadits Keenam
وإياك وإسبال الإِزار فإِنها من المخيلة، وإن اللّه لايحبُّ المخيلة
“Berhati-hatilah dari meng-isbal-kan kain, karena hal itu termasuk kesombongan dan sesungguhnya Allah tidak menyukai kesombongan.” [HR. Abu Daud dalam sunannya, dan Shohih Sunan Abu Daud li Syeikh Nasiruddin al-Albani]
Sebenarnya masih banyak lagi hadits-hadits senada seputar permasalahan isbal ini, akan tetapi penulis mencukupinya dengan enam hadits yang nantinya sangat penting untuk kita perhatikan dengan seksama.
Tulisan al-ustadz Nursanjaya hafidzahullahu ta’ala (semoga Allah Menjaganya) dalam buletin minggu lalu menyimpulkan bahwa isbal yang diiringi rasa kesombongan-lah yang diharamkan, dan yang tidak diiringi kesombongan, maka isbal dibolehkan. Dengan merujuk kepada pendapat Ibnu Hajar dan Imam Nawawi rahimahumullahu ta’ala yang mengatakan bahwa hadits isbal karena sikap kesombongan menjadi muqoyad (pembatasan) terhadap hadits yang umum (mutlaq) tentang larangan isbal.
Klaim bahwa hadits-hadits tersebut bersifat mutlaq dan muqoyad sebenarnya adalah klaim lemah. Kita menyadari bahwa “Hamlul Mutlaq ‘alal Muqoyad” atau dalil yang mutlaq harus dibawa pada yang muqoyad, dan ini adalah satu kaidah ushul yang telah disepakati oleh ahlul ilmi. Dan bukannya tanpa syarat, hadits yang mutlaq dan muqoyad harus memiliki kesamaan keadaan hukum dan sebab.
المطلق يحمل على المقيد اذا اتفقا في السبب والحكم
[Lihat Ushul Fiqh Islamiy, Dr. Wahbah Zuhaili (1/217), dan Al-Bayan, Abdul Hamid Hakim (3/75)].
Atas dasar ini sebenarnya jika kita perhatikan dengan seksama, hadits-hadits yang ada tidak menunjukkan kepada hukum dan sebab yang sama. Tetapi masing-masing hadits berbeda hukumnya dan sebabnya. Pada hadits pertama misalnya, disana ancaman (wa’id) bagi orang yang isbal adalah dimasukkan ke dalam api neraka, dan pada hadits kedua diatas ancamannya adalah Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat.
Jadi kita bisa memahami bahwa jika isbal yang dilakukan karena rasa sombong, akan mengakibatkan pelakunya tidak akan dilihat oleh Allah, dan bagi mereka yang isbal tanpa rasa sombong maka ancamannya adalah neraka. Bahkan kalau kita perhatikan pada hadits yang keenam diatas malah Rasulullah lebih tegas mengatakan bahwa isbal itu sendiri termasuk kesombongan. Rasulullah bersabda:
وارفع إزارك إلى نصف الساق , فإن أبيت فإلى الكعبين , وإياك وإسبال الإزار فإنها من المخيلة وإن الله لا يحب المخيلة
“Angkatlah kainmu hingga setengah betis, dan jika mau turunkan lagi hingga mata kaki (tidak dibawah mata kaki), dan takutlah kalian akan isbal, karena ia temasuk kesombongan dan Allah tidak menyukai kesombongan.” [HR. Tirmidzi, An-Nasai, Abu Daud yang bersumber dari Jabir bin Salim, Shahih Tirmidzi]
Nah dari sini dapat kita ketahui bahwa penafsiran Ibnu Hajar dan Imam Nawawi yang memasukkan hadits-hadits ini kedalam mutlaq dan muqoyad adalah kurang tepat. Dan sebagaimana ustadz Nursanjaya mengatakan, “Perkataan siapa saja bisa dibantah kecuali perkataan Rasulullah”. Mengutip kalimat ini, penulis mencoba mengingatkan bahwa Ibnu Hajar dan Imam Nawawi adalah manusia biasa yang bisa lupa dan tersalah.
Oleh karenanya sebagai seorang muslim hendaknya kita lebih memilih pendapat yang rojih (kuat), yang lebih mendekati kepada kebenaran. Dan dalam masalah isbal ini pendapat yang kuat adalah isbal itu terlarang dengan motiv apapun, dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (22/14) dan Syeikh Nasiruddin Al-Albani dalam Shifat Shalat Nabi serta beberapa ulama salaf dan khalaf lainnya.
Adapun sikap kita yang hanya berhenti (tawaquf) karena ada ulama yang berpendapat berbeda, tentu hal ini akan dijadikan oleh ahlul bid’ah untuk berdalih menepis as-sunnah dengan mengatakan “ada ulama yang berpendapat begini dan begitu… jadi jangan panas jika kami berbeda dengan anda”. Inilah yang tidak kita inginkan. Dan kaidah yang senantiasa dijunjung tinggi oleh ahlussunah adalah “ruju’ ilal haq” atau kembali kepada yang benar atau yang mendekati kepada kebenaran.
Akhirnya, dari tulisan yang singkat ini penulis menarik sebuah kesimpulan bahwa isbal dengan motivasi apapun tidak dibenarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdasarkan hadits-hadits yang ada. Dan jika kita malu meninggikan kain hingga setengah betis, maka cukupkanlah hingga batas mata kaki saja. Insya Allah kita termasuk orang-orang yang cinta kepada sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Rasulullah bersabda:
عن أبي هريرة عبد الرحمن بن صخر رضي الله تعالى عنه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم يقول مانهيتكم عنه فاجتنبوه وما أمرتكم به فأتوا منه ما استطعتم فإنما أهلك الذين من قبلكم كثرة مسائلهم واختلافهم على أنبيائهم
Dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Shakhra radliyallahu ta’ala ‘anhu, berkata, “aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “apa saja yang aku melarangnya maka jauhilah dan apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah sesuai dengan kemampuanmu, karena sesungguhnya umat terdahulu telah celaka akibat banyak bertanya dan menyelisihi nabi-nabinya.” [HR. Bukhari dan Muslim, lihat Arbaun An-Nawawi, hadits No. 9].
Posted by Abu Aqil Al-Atsy at 11:06 AM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar